Tuesday, March 14, 2006

MAKLUMAT DEKAT RUMAH


Dekat Rumah Project adalah wilayah ekspresi yang disediakan untuk menampung apa saja yang dekat dengan kita. Ya, apa saja dan tentu saja bagi siapa saja. Karena di dekat rumah, kita selalu akan merasa nyaman, guyub dan tentu saja betah. Mudah-mudahan. Soalnya di dekat rumah ada puskesmas, ada tukang foto dan juga bioskop. Ada juga toko buku dan akan menyusul rupa-rupa yang lain, selain tetangga-tetangga yang baik.
Tetangga kita yang terpenting di dekat rumah ini adalah Gus Dur yang disebut-sebut para tetangga sebagai guru ngaji (lihat saja kajiannya mulai dari humanisme sampai humor) yang juga pernah menjadi Presiden. Yang lainnya tentu saja Sarwono yang pernah membantu Gus Dur sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Juga ada Siswono yang pernah menjadi Calon Wakil Presiden mendamping Amien Rais.
Nanti kita akan ramai bergosip tentang mereka. Juga ada Lily dan Titi, dua tetangga ceriwis -- ibu-ibu yang selain sibuk berumah tangga juga menyibukkan diri untuk pertetanggaan. Dan akan menyusul tetangga-tetangga yang lainnya yang akan meramaikan Dekat Rumah ini.

Saturday, March 11, 2006

DILARANG TAKUT


setelah sekian milyun tapak kaki melukis peta
pulau-pulau yang kita lalui,
inilah wilayah sangat asing itu, adinda
jadi jangan sedih
inilah tanah air
tanah yang putingnya tinggal menyisakan sebongkah baja
tanda tanya di balik baju musim panas, kutang berwarna merah
dan gincu ungu yang ditimpa cahaya neon
lebih baik kita dagang sikat gigi, parut kelapa
atau gergaji
sehingga kita dapat mengenang percintaan kita
yang purba

:
di jendela kelas kamu melempar gulungan kertas
yang lantas kupungut dengan takzim
dan dengan rendah hati aku menunggumu di ujung gang
untuk mencoba tahu bagaimana rasanya berciuman
dan saat hujan aku menyodorkan payung
yang lantas kamu tolak
karena kamu bilang matahari bukan rasa rindu
kemudian kita berbasah-basah sebelum sebuah sedan
berhenti dan membawamu pergi
o, ada banyak paku di kepalaku saat itu
pasir dalam sepatu menggeliat liar saat melangkah
dan kuingat sebuah sajak kenangan
:
kemiskinan dan kemelaratan membangkitkan keangkuhanku

jadi jangan takut, adinda
cinta hanya sehelai kata yang menghubungkan
produsen dan konsumen

1994

1996 (4)



Juli, 27

ramalan cuaca meleset!
hujan batu luruh subuh tadi
dan jalan diponegoro banjir darah
orang-orang panik dan berdusta
orang-orang panik dan tersungkur
sebelum banjir tuduhan datang
dari televisi

ramalan cuaca meleset!
langit Indonesia berwarna kuning pekat
memanggang jalan-jalan layang
mamanggang gedung-gedung pencakar langit
menggetarkan nyali anak-anak muda
sebelum digiring bagai kambing-kambing hitam
ke tiang pembantaian

ramalan cuaca meleset!
dan kutukan demi kutukan datang
dari orang-orang panik
dan khianat

Thursday, March 09, 2006

1996 (3)


Maret, 15
bagi GM

siapakah yang masih setia bernyanyi
‘pelangi alangkah indahmu’
kala siang itu kulihat orang-orang
mengerek bendera putih
diiringi hymne dari sebuah pemakaman

siapakah yang masih setia bernyanyi
‘pelangi alangkah indahmu’
kala siang itu aku lihat sang pelukis agung
mengecat langit dengan warna kuning
diiringi hymne dari sebuah pemakaman

astaga,
siapakah yang masih sangsi
bahwa darah kita berwarna merah
dan siang itu orang-orang mengerek
bendera putih

1996 (2)


April, 24

tiga kawan kita mati,
mungkin lebih
dan kita berang sejenak
kemudian sunyi

jenderal,
aku berikrar melawanmu
sebab darah yang tumpah itu
membeceki lantai ruang kuliah kami
melukis dinding kelas kami
yang berbau sisa gas air mata

jenderal,
pada pemakaman tanpa rencana ini
angin terkesiap dan memaafkanmu
lantaran waktu begitu perkasa
menggulung semangat perlawananku

tiga kawan kita mati,
mungkin lebih
dan kita kemudian tiarap
lalu sunyi

Wednesday, March 08, 2006

1996 (1)


Januari, 15

hujan agaknya di luar
bagai partai politik yang lupa hakikat
warna tanah
lantaran begitu banyak dusta
berbau amis seusai makan malam
yang menggumpal menjelma awan

22 tahun lampau kota kita membara
lantaran menampik haiku dan origami
padahal perlu kita berolah kata
padahal perlu kita melatih tangan, katanya

hujan agaknya di luar
bagai negara yang limbung kehilangan
rusuk
lantaran buah dusta bertahun lampau
adalah kata yang terampil menarik pelatuk
adalah tangan yang tak tahu harga nyawa

22 tahun setelah itu
kota telah kehilangan daya
menolak langit yang makin deras
memuntahkan peluru

Tuesday, March 07, 2006

METAMORFOSIS TAUTAU



(Catatan 1994)

Selalu akan kutulis sesuatu yang tak sanggup kau ungkapkan.
Selalu.
Begitu pula ketika aku menemukan tautau di dinding-dinding bukit karang Tana Toraja dalam suatu perjalanan bersama I Goesti Agung Bagoes, sahabatku yang Bali, beberapa waktu lampau.
Begitu pula ketika tautau itu kemudian maujud sebagai orang-orang yang kukenal, orang-orang yang dapat kutandai, orang-orang yang ternyata bukan lagi orang karena mereka ternyata hidup sebagai dan lebih merupakan fungsi-fungsi.
Setiap hari aku berjumpa dengan manajer dan mahasiswa, direktur dan dosen, wartawan dan seniman, polisi dan politisi, tukang becak dan penjaja air; semua yang kutemui itu, ternyata, adalah fungsi-fungsi. Dan kalau kurenung-renungkan, mereka sejatinya bukan lagi manusia yang hadir dengan segala kehangatan kemanusiannya. Mereka lebih merupakan fungsi, merupakan tautau.
Lalu, dalam komunikasi antar fungsi itu, kehangatan kemanusiaan telah bergeser ke balik dinding yang sangat tersembunyi, seperti jasad yang telah ditelan gua-gua Tana Toraja itu.
Tetapi, karena aku masih percaya bahwa bagaimanapun manusia takkan bisa mati-mati, maka yang kupercaya saat ini tinggal cinta. Cinta yang entah mengapa juga telah mengungsi ke wilayah-wilayah yang lain yang sangat tersembunyi.
Sehingga, kalau aku mesti merumuskan cita-citaku, sesuatu yang sesungguhnya sangat sulit kulakukan, maka aku akan mengatakan:
Selalu akan kutulis apa yang tak sanggup kau ungkapkan.
Sesuatu yang kau tahu, kau mengerti, kau sadari, tetapi tak sanggup kau ungkapkan, kau katakan, karena memang ada sesuatu di luar sana yang sangat menentukan apa yang boleh dan apa yang tak boleh. Sejenis kesiur angin yang datang kemudian memagari bahkan angan-angan kita sekalipun.
Karena itu, kita ternyata adalah satu fase dari sebuah proses metamorfosis.
Dengan ini kubaca sajak-sajakku.

Makassar, 20 Oktober 1994

TANDA TAK TERKATAKAN



seperti lagu berirama rumba
pernah ada niatku berberita padamu
tentang tangkai bunga karang yang membayang
di dasar samudera yang mengelilingi pulauku
tapi segera kuurungkan, adinda
sebab aku tahu kamu tak suka dansa
dan malam-malamku adalah penantian dingin
di sebuah café terpencil
ditemani segelas soda tak tersentuh

saat-saat seperti itu, adinda
kamu pasti berlutut depan altar
menyilangkan tangan mendekap hatimu
menderas firman-firman terpilih
dan mengenang percintaanmu yang pertama
yang membawamu ke dusun-dusun tak bernama
hingga kamu mengerti adenin ada di sini
di sisi sebuah suara tak terkatakan
diantara tuhan dan kematian

o, angin yang menggigil di luar sana
kerinduankah yang kau bawa ke reranting bergetar itu
atau suatu percobaan beratus kali
menorehkan tanda dari cinta
yang begitu pandai mencederai

seperti sebuah lagu tak terkatakan
inilah aku, adinda
seorang lelaki di dalam malam yang tak pernah terucapkan

Makassar, 17 Oktober 1994

Monday, March 06, 2006

POST SCRIPTUM IBU PERTIWI



sebilah angin menampar wilayah dalamku
adalah wajahmu yang terbit menghantar
sisa fajar menitiskan matahari

di tebing mana aku mesti berpijak
menangkal turunnya senja
agar tersedia waktu bagi pelayaran
di hamparan alang-alang
menahan laju kesangsian
agar tercipta ruang yang memadat
titian bagi cinta melata ke kenyataan

(padahal belum kubasuh tangan yang memenggal
almanak kala kelembutan jamahan hatimu
membelai wilayah rahasiaku)

o, anak matahari kiriman langit
putri sulung sang kesucian
geliat samudera remajamu
(pada gelombang dadamu yang subur)
hamparan langit kemudaanmu
(pada bau napasmu yang jujur)
membalur bumi ketakberdayaanku
mengguratkan tanda tangan
di selembar surat cinta


Makassar, 6 Juni 1994